Senin, 21 Januari 2013

Jalur KA Hidupkan Desa-desa di Batavia

1128116p
KOMPAS.com — Sejarah panjang moda transportasi di Batavia dan sekitarnya masih berlanjut. Pasalnya, moda transportasi ini kemudian berpengaruh pada banyak segi kehidupan manusia. Sebut saja tergesernya angkutan penumpang yang paling beken pada masa itu seperti kereta kuda atau bendi, sado, pedati, atau dokar.
Sejak Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels memerintahkan pembangunan jalan sepanjang sekitar 1.000 kilometer menghubungkan Anyer ke Panarukan, pada awal abad ke-18, kereta kuda menjadi begitu diperlukan.
Namun, sejak 1871, di mana jalur kereta api di Batavia sudah terbangun dan beroperasi, sais dan sadonya terpaksa mulai tersingkir. Ongkos naik sado, yang sempat menjadi lambang kemakmuran warga berada, jelas lebih mahal dibandingkan dengan ongkos naik kereta. Waktu tempuhnya pun lebih cepat kereta api.
Pada tahun 1873, saat jarak Batavia-Buitenzorg (Bogor) juga sudah bisa ditempuh via kereta api, habislah sejarah kereta kuda. Demikian pula untuk jarah jauh sepanjang Jalan Raya Pos, Anyer-Panarukan.
Meski sado tergusur dan hanya menjadi alat transportasi jarak pendek, pekerjaan dan usaha lain meningkat dengan adanya jalur kereta api. Sebut saja pedagang di stasiun, buruh di stasiun, belum lagi para insinyur. Bisnis pun makin lancar karena pengiriman hasil bumi yang makin cepat dan nyaman. Artinya, keberadaan moda transportasi ini menggairahkan ekonomi.
Selain itu, berkembangnya jalur kereta api juga menumbuhkan daerah-daerah yang semula terpencil, contohnya Pegangsaan (Stasiun Cikini). Dalam beberapa penelitian tercatat, Pegangsaan merupakan gambaran desa baru yang muncul dengan pembangunan jalan kereta api.
Adolf Heuken dalam Menteng: Kota Taman Pertama di Indonesia menyebutkan, Pegangsaan termasuk dalam wilayah Afdeeling Meester Cornelis. Namun saat pemerintah Afdeeling Batavia mulai merencanakan membangun permukiman baru,  daerah itu dibeli dari Afdeeling Meester Cornelis dan dimasukkan ke dalam wilayah Batavia.
Alhasil, Pegangsaan, yang kala itu masih berupa desa, cepat berkembang. Bahkan, kebun binatang nan luas pun dibikin di desa ini, belum lagi pasar, warung, dan permukiman baru.
Setelah jalur kereta api dan jalur trem berkembang cepat dengan menggunakan lokomotif listrik sebelum abad ke-20, pada 1925 kereta api Batavia-Buitenzorg mengikuti jejak trem dengan menggunakan lokomotif listrik.
Seperti pernah ditulis di Warta Kota, pada saat Staatsspoorwegen (SS) berusia setengah abad, SS meluncurkan rangkaian kereta api listrik pertama di Indonesia dari Stasiun Tanjung Priok-Jatinegara dan berlanjut ke Bogor. Itu terjadi sekitar April 1925 atau 85 tahun lalu.
Contoh lokomotif listrik dari tahun 1920-an tak lain adalah si Bon Bon, lokomotif listrik ESS 3201 buatan pabrik Werkspoor tahun 1926. Lokomotif ini melayani penumpang Jakarta-Buitenzorg sejak akhir 1920-an sampai pertengahan 1970-an. Adalah Indonesian Railway Preservation Society (IRPS) yang menemukan onggokan lokomotif tersebut dan kemudian membersihkan serta membuatnya seperti hidup kembali.
Jaringan jalan trem di Batavia yang dimiliki oleh Nederlandsche Indische Tramweg Maatschappij (NITM) dan Batavia Elektrische Tram Maatschappij (BET) kemudian bersatu dalam nama Bataviasche Verkeers Maatschappij (BVM) pada tahun 1930.
Sebelum lokomotif listrik beroperasi di jalur kereta api Batavia-Buitenzorg, sudah ada rencana besar, yaitu membangun jalur kereta api dua jalur atau  jalur ganda serta halte baru di sepanjang jalur yang sudah ada. Pada tahun 1918, demikian dilaporkan Michiel van Ballegoijen de Jong dalam Spoorwegenstations Op Java, telah terbangun jalur kereta api di sepanjang Sungai Ciliwung. Jalur itu menghubungkan Stasiun Meester Cornelis yang baru dengan Stasiun Manggarai dan kemudian berlanjut ke Bogor.
Sepuluh tahun kemudian, dari Stasiun Manggarai itu dibangun jalur ganda menuju Halte Sawah Besar sampai ke Stasiun Batavia Benedenstad (kini Stasiun Jakarta Kota). (Editor : aegi)
sumber :
http://nasional.kompas.com/read/2010/05/04/05043238/jalur.ka.hidupkan.desa-desa.di.batavia
Opini Saya :
Saya sendiri sangat merasa bersyukur atas adanya kereta api penghubung antar wilayah jabodetabek karena dengan adanya kereta api kita dapat pergi ke daerah jabodetabek dengan mudah, cepat, dan murah misalnya seperti saya yang rumahnya di Bogor dan setiap hari pergi kuliah ke Depok menggunakan kereta api. Namun sayangnya disaat semua masyarakat pedesaan dan perkotaan mulai mengandalkan kereta api sebagai alat transportasi utama, sarana dan prasarananya tidak ada kemajuan. Oleh karena itu diharapkan pemerindah membuka mata agar dapat lebih meningkatkan kualitas pelayanan kereta api. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar